TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
A.
PANDANGAN
BEHAVIORISTIK TENTANG BELAJAR
Teori belajar behavioristik adalah
sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari teori ini lalu berkembang
menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan
teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Perubahan perilaku yang dimaksud dapat
berwujud perilaku tampak (over behavior) atau perilaku yang tidak tampak
(innert behavior). Perilaku yang tampak misalnya : menulis, menendang,
memukul, sedangkan perilaku yang tidak
tampak misalnya : berfikir, bernalar, dan berkhayal. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus)
dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang
dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip
dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment;
(2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4)
Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The
Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik
di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin
Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran
behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran. Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah
laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike
yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler,
1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat
respon.
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi
antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisikaatau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik
semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat
terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin.
Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction)
adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia,
sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan
dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat
berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi
juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum
kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada
waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell,
Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan
sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon
bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta
didik perlu
sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat
lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori
ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat.
Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola
kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell,
Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar
lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep
belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan
respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh
tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang
dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Analisis
Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai
suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi
stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih
menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,
dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut
oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang
paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada
konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali
tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel
atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat
diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan
respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan
adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman
penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan
pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif.
Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping,
yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak
faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar
pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori
behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan
pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative
reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan
berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam
proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat
dengan Guthrie, yaitu:
·
Pengaruh
hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
·
Dampak
psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
·
Hukuman
yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk)
agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan
yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai
penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang
muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar
tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi
jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan)
dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan
dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respons.
B.
PRINSIP-PRINSIP BELAJAR
Berikut
ini diuraikan beberapa peinsip belajar yang dapat dikembangkan dalam proses
pembelajaran.
1. Pinsip
Perhatian dan Motivasi
Perhatian
dan motivasi merupakan dua aktivitas yang memiliki keterkaitan yang sangat
erat. Dan untuk menumbuhkan perhatian dibutuhkan adanya motivasi. Motivasi
merupakan tenaga pendorong bagi seseorang agar memiliki energy atau kekuatan
malakukan sesuatu dengan penuh semangat. Hamalik (2011), mengemukakan bahwa
motivasi adalah suatu perubahan energy didalam pribadi seseorang yang ditandai
dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi terkait
erat dengan kebutuhan. Semakin besar kebutuhan seseorang akan sesuatu yang
ingin dicapainya maka akan semakin tinggi pula motivasi untuk menccapai hal
tersebut. Dalam kegiatan
belajar peran guru sangat penting dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa.
Disini tugas guru adalah meyakinkan siswa agar tujuan belajar yang ingin
diwujudkan menjadi suatukebutuhan bagi semua siswa. Motivasi dapat bersifat
internal dan eksternal. Motivasi internal adalah dorongan dari dalam diri
individu itu sendiri untuk melakukan sutu aktivitas. Motivasi eksternal adalah
dorongan yang berasal yang berasal dari luar diri seorang individu yakni dari
lingkungan sekitar dan orang-orang yang ada disekitarnya.kedua motivasi terjadi
seimbang akan menghasilkan proses pembelajaran yang mencapai hasil.
2. Prinsip Transfer dan Retensi
Berkaitan
dengan proses transfer dan retensi terdapat beberapa prinsip yaitu :
a. Tujuan
belajar dan daya ingat dapat menguasai retensi.
b. Bahan
yang bermakna bagi pelajar dapat diserap lebih baik.
c. Retensi
seseorang dipengaruhi oleh kondisi psikis dan fisik dimana proses belajar itu terjadi.
d. Latihan
yang terbagi-bagi memungkinkan retensi yang lebih baik.
e. Penelaahan
bahan-bahan factual, keterampilan dan konsep dapat meningkatkan retensi.
f. Proses
belajar cenderung terjadi bila kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat
memberikan hasil yang memuaskan.
g. Proses
saling mempengaruhi dalam belajar akan terjadi bila bahan baru sama dipelajari
mengikuti bahan yang lalu.
h. Pengetahuan
tentang konsep, prinsip dan menganalisasi dapat diserap dengan baik dan dapat
diterapkan lebih berhasil dengan cara menghubungkanpenerapan prinsip yang
dipelajari dengan memberikan ilustrasi unsure e-unsur yang serupa.
i. Transfer
hasil belajar dalam situasi baru dapat lebih mendapat kemudahan bila
hubungan-hubungan yang bermanfaat dalam situasi yang khas dan dalam situasi
yang agak sama dapat diciptakan.
j. Tahap
akhir proses belajar seharusnya memasukkan usaha untuk menarik generalisasi,
yang pada gilirannya nanti dapat lebih memperkuat retensi dan transfer.
3. Prinsip
Keaktifan
Keaktifan
dalam belajar merupakan hal yang penting dan mendasar yang harus
dipahami, disadari serta dikembangkan oleh setiap guru dalam proses
pembelajaran. Dan hal ini tentu harus diterapkan oleh siswa dalam kegiatan
belajar. Keaktifan belajar ini ditandai oleh beberapa hal yakni keterlibatan
secara optimal, baik intelektual, emosional dan fisik jika dibutuhkan.Daya keaktifan yang dimiliki oleh anak
akan berkembang jika mendapat dukungan dari lingkungan disekitarnya.
Implikasi
prinsip keaktifan atau aktivitas bagi guru dalam proses pembelajaran adalah:
a. Memberi
kesempatan, peluang seluas-luasnya kepada siswa untukberkreativitas dalam proses
pembalajaran.
b. Memberi
kesempatan melakukan pengamatan atau eksperimen.
c. Memberi
tugas individual dan kelompok melalui kontrol guru.
d. Memberikan
pujian verbal dan non verbal terhadap siswa yang memberikan respon
atau tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan.
e. Menggunakan
multi metode dan multi media dalam proses pembelajaran.
4. Prinsip
Keterlibatan Langsung
Keterlibatan
langsung siswa dalam proses pembelajaran memiliki intensitas keaktifan yang
lebih tinggi. Dalam hal ini siswa tidak hanya aktif mendengar, mengamati dan
mengikuti, akan tetapi siswa terlibat langsung di dalam melaksanakan
percobaan. Keterlibatan langsung siswa member banyak sekali manfaat, baik
manfaat yang secara langsung dapat dirasakan dalam proses pembelajaran maupun
manfaat jangka panjang setelah proses pembelajaran berlangsung.
Implikasi
prinsip keterlibatan langsung bagi guru adalah:
a. Mengaktifkan
peran individu atau kelompok kecil dalam penyelesaian tugas.
b. Menggunakan media secara langsung dan
melibatkan siswa di dalam praktik pengguanaan tersebut.
c. Member
keleluasan kepada siswa untuk melakukan berbagai percobaan.
d. Memberikan tugas-tugas praktik.
5. Prinsip
pengulangan
Prinsip belajar
yang menekankan perlunya pengulangan. Prinsip ini bermanfaat untuk melatih daya
–daya jiwa, pengulangan juga berguna untuk membentuk respons yang
benar dan membentuk kebiasaan-kebiasaan.
6. Prinsip
tantangan
Prinsip
belajar yang mengemukakan bahwa siswa akan lebih giat belajar apabila
pelajarannya memuaskan,guru ramah dan mereka memiliki peran dalam pelajaran
tersebut.sehingga siswa merasa tertantang untuk dalam sutau pelajaran dan
mendapat hasil maksimal. Model-model
pembelajaran yang menempatkan siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh
guru,memiliki kadar keterlibatan mental yang rendah. Dalam kaitan dengan prinsip-prinsip
tantangan ini diharapkan guru secara cermat dapat memilih dan menentukan
pendekatan dan metode pembelajaran yang dapat memberikan tantangan bagi siswa
untuk belajar.
7. Prinsip
balikan dan penguatan
Prinsip
belajar yang pada dasarnya memberi penguatan ke siswa. Siswa akan belajar lebih
giat apabila mendapat hasil yang baik. Hasil belajar yang baik merupakan
balikan positif. Namun penguatan bukan hamya positif penguatan negative juga
diperlukan untuk memperkuat belajar. Memberi
penguatan merupakan tindakan atau respon terhadap munculnya peningkatan
kualitas tingkah laku. Di dalam proses pembelajaran sehari-hari sebagian guru
memberi nilai atau skor terhadap pekerjaan siswa. Pemberitauan hasil belajar
dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Nilai yang baik merupakn penguatan
positif. Demikian pula ketika siswa mendapat nilai kurang baik, juga member
manfaat dalam rangka mendorong motivasi belajar. Anak yang dapat nilai kurang
baik akan belajar lebih giat demi tercapainya nilai sempurna. Jadi penguatan
negative perlu demi meningkatnya motivasi siswa.
Beberapa
situasi ini cocok untuk diberi penguatan :
a. Pada
saat siswa menjawab pertanyaan,atau merespon stimulus guru
b. Pada
saat siswa mengerjakan PR
c. Pada
saat siswa mengerjakan tugas tugas latihan.
d. Pada
saat siswa berani tampil di kelas
e. Pada
saat siswa mengikuti proses pembelajaran dengan sungguh-sungguh.
8. Prinsip
Perbedaan Individual
Sebelum
guru menentukan strategi pembelajaran,metode,dan teknik ,guru terlebih dahulu
memahami karakteristik siswa dengan baik. Dari keberagaman factor ,seperti
sikap siswa, kemampuan dan gaya belajar,pengetahuan serta kemampuannya dan
konteks pembelajaran merupakan komponen yang memberikandampak sangat penting
terhadap apa yang sesungguhnya harus siswa pelajari (Killen,1998: 5). Setiap guru harus dapat memahami dan
menghargai karakteristik keunikan cara belajar mereka yang berlangsung dalam
pembelajaran.dari sini pendidikan karakter dapat dikembangkan. Dalam pandangan DePorter dan Hernacki
(2001: 17) terdapat tiga karakteristik atau modalitas belajar siswa yang perlu
diketahui oleh setiap pendidik dalam proses pembelajaran yaitu:
a. Orang-orang visual, yaitu
karakter yang cenderung menyukai belajar media gambar secara langsung otak akan
mentransfer apa yang ada dalam gambar tersebut untuk diterjemahkan.dan lebih
suka melihat peta dari pada mendengar penjelasan.
b. Orang-orang auditorial, yaitu
karakter yang cenderung menyukai cara belajar melalui suara atau melihat orang
berbicara dan tidak menyukai membaca buku.
c. Orang-orang kinestetik, yaitu
karakter yang cenderung cara belajar melalui gerakan anggota badan, cara
berfikir lebih baik dengan bergerak dan sulit untk diam.
Implikasi
prinsip perbedaan individual mengharuskan guru berperan aktif dalam
memahami karakteristik guna mencapai hasil pembelajaran. Setiap guru member
perhatian dan menghargai keunikan yang dimiliki setiap siswa berbeda beda.
C.
TEORI BELAJAR CLASSICAL CONDITIONING
Teori
belajar classical conditioning adalah teori pengkondisian atau persyaratan
klasik yaitu sebuah prosedur penciptaan reflek baru dengan cara mendatangkan
stimulus sebelum terjadinya reflek tersebut. Teori ini juga dikenal
dengan nama pavlovianisme. nama ini diberikan berdasarkan nama peletak dasar
aliran ini yaitu Ivan Petrovitch Pavlov (1849- 1936). Pavlov lahir pada 14
september 1849 di Rusia, ayahnya adalah seorang pendeta bernama Peter
Dmitrievich Pavlov. Sebenarnya orang tuanya mengiginkan Pavlov untuk menjadi
penerus ayahnya, tetapi ia memelih jalannya sendiri dengan belajar ilmu
kedokteran dan mengambil spesialis dalam bidang fisiologi.
Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen
fisiologi pada Institute of experimental medicine. Ivan Pavlov meraih
penghargaan nobel dalam bidang fisiologi pada tahun behavioristik di Amerika.
Karya tulisnya adalah Work Of Digestive Glands (1902). Dan Conditioned Reflexes
(1927). Sejak tahun 1902 telah mengadakan penelitian secara intensif mengenai
kelenjar ludah. Penelitian ini dengan mempergunakan anjing sebagai subjeknya.
Adapun penelitiannya yang dilakukannya adalah dengan
mengoperasi kelenjar ludah anjing sehinnga memungkinkan untuk mengukur dengan
teliti air liur yang keluar sebagai respon. Setelah percobaan diulang
berkali-kali, maka ternyata air liur telah keluar sebelum makanan sampai
kemulutnya, yaitu:
a. Pada waktu melihat piring makanan.
b. Pada waktu melihat orang yang biasa memberi makanan.
c. Pada waktu mendengar langkah orang yang memberi
makanan.
Jadi makanan disini merupakan perangsang (stimulus)
yang sewajarnya bagi reflek keluarnya air liur, sedangkan piring, orang, dan
suara langkah merupakan stimulus yang bukan sewajarnya. Terhadap percobaan ini
Pavlov mengambil kesimpulan bahwa signal dapat memainkan peranan yang sangat
penting dalam adaptasi hewan terhadap sekitarnya. Reaksi mengeluarkan air liur
karena mengamati pertanda disebut dengan istilah reflek bersyarat atau
conditioned reflek (CR), pertanda atau signal disebut perangsang bersyarat atau
conditioned stimulus (CS), makanan dsebut perangsang tak bersyarat atau
Unconditioned stimulus (US), sendangkan keluarnya air liur karena makanan
disebut reflek tak bersyarat atau unconditioned reflek (UR).
Eksperimen ini kemudian diulang-ulang dengan berbagai
variasi, namun dapat disimpulkan bahwa:
· Anjing dibiarkan lapar, setelah itu bel dibunyikan,
anjing mendengar benar-benar bunyi bel tersebut. Setelah 30 detik, makanan
diberikan dan terjadilah reflek keluar air liur.
· Percobaan tersebut diulang-ulang berkali-kali dengan
jarak waktu 15.
· Setelah diulang 32 kali, ternyata bunyi bel saja (± 30
detik) telah dapat menyebabkan keluarnya air liur dan ini bertambah deras kalau
makanan diberikan.
Dari
eksperimen ini diketahui bahwa:
· Bel merupakan CS, dan makanan merupakan US.
· Keluarnya air liur karena bel merupakan CS.
· Makanan atau perangsang wajar (US) disebut juga
reinforcer atau penguat, karena memperkuat reflek bersyararat dan menimbulkan
respon yang lebih kuat.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau
pembiasaan diketahui bahwa, daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan
oleh bunyi bunyi bel bel sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika bel
dibunyikan, ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.
B. Kelebihan dan Kelemahan Teori Classical Conditioning.
Dalam penerapan sebuah teori memang selalu ada
kelebihan dan kekurangannya. Adapun kelebihan teori pembiasaan atau classical
conditioning ini adalah:
1. Mementingkan pengaruh lingkungan, bagian-bagian,
peranan reaksi, mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar.
2. Mementingkan pembentukan kebiasaan dalam pemecahan
masalah.
3. Memberi pengaruh siswa dalam belajar, karena pendidik
memberi stimulus sedangkan siswa akan lebih termotivasi dalam mengerjakan tugas
dan tanggung jawabnya.
4. terdapat stimulus tertentu yang mampu menggugah
semangat siswa yang semula rendah.
5. Jika siswa sudah terbiasa melakukan perbuatan yang
telah terkondisikan dengan ilmunya secara kontinyu maka ia dapat dikatakan
berhasil dalam belajarnya.
6. Memberikan cirri perubahan dalam belajar, jika ada
suatu tanda signal.
Adapun
kelemahan dari teori pembiasaan classical conditioning adalah:
1. Sistem pembelajaran bersifat mekanis.
2. Pembelajaran bersifat teacher centered.
3. Siswa menjadi pasif.
4. Hanya merupakan materi.
5. Percobaan dalam laboratium, berbeda dengan keadaan
yang sebenarnya.
6. pribadi seseorang dapat mempengaruhi hasil belajar.
7. Respon mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang tak
dikenal.
8. Teori ini sangat sederhana dan tidak memuaskan untuk
menjelaskan segala seluk beluk dalam belajar yang sangat komplek dan tidak
dapat diamati dalam satu perspektif saja.
D.
TEORI BELAJAR KONEKSIONISME
Teori belajar koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan
oleh Edward L. Thorndike (1874/ 1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan
pada tahun 1890-an. Eksperimen Thondike ini menggunakan hewan-hewan terutama
kucing mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing
lapar ditempatkan berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatang,
seperti pengungkit, gerendel, pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit
dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga
memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia didepan sangkar
tadi.
Keadaan bagian sangkar yang disebut puzzle box (peti
teka-teki) itu merupakan situasi stimlus yang merangsang kucing untuk bereaksi
melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing
tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka
pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana,
secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu
sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini merupakan terkenal
dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang
berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran
yang dikehendaki (Hintzman, 1978).
Berdasarkan eksperimen di atas, thorndike berkesimpulan bahwa belajar
adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori
koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psichology of Learning”.
Disampng itu teori ini juga dikenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”.
Istilah ini menunjuk pada penjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan
dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975).
Apabila kita
perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua
hal pokok yang mendorong tibulnya fenomena belajar.
1. Keadaan kucing yang sedang lapar.
Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan berusaha keras untuk
keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang
mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakka gejala belajar
untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan
bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam
belajar.
2. Tersedianya makanan di muka
pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif atau memuaskan
yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar
yang disebut law of effect. Artinya jika sebuah respons
melahirkan effeks yang memuaskan, sehubungan antara stimulus dan respons akan
semakin kuat. Sebaliknya tidak akan memuaskan (mengganggu) effek yang dicapai
respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut. Hukum
belajar inilah yang mengalami munculnya konsep reinforcer dalam
teori Operant Conditioning hasil penemuan B.F. Skinner.Hal
ini ditafsirkan oleh Thorndike demikian: “kucing itu sebenarnya tidak mengerti
cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia belajar mencamkan
(mempertahankan) response-response yang benar dan menghilangkan
response-reponse yang salah”. Berebeda dengan penelitian-penelitian labortorium
mengenai hal belajar itu yang telah dilakukan oleh ahli-ahli yang lebih dahulu,
dalam eksperimen ini Thorndike memasukkan masalah baru di dalam belajar, yaitu
masalah dorongan (motivation), hadiah (ganjaran, reward, dan hukuman (phunisment).
Penelitian-penelitian yang lebih dahulunya tidak mempersoalkan hal itu
(misalnya saja penelitian Ebbinghaus). Eksperimen-eksperimen Thorndike mengenai
hewan mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf insansi (hewan). Dia
yakin betentangan pada kepercayaan umum, bahwa tingkah laku hewan sedikt sekali
dipimpin oleh pengertian. Response-response itu dilakukan oleh hewan langsung
terhadap situasi yang diamati. Dengan tidak menyatakan secara eksplisit menolak
pengertian adanya pada hewan. Dia yakin masalah belajar itu pada hewan dapat
diterangkan sebagai hubungan langsung antara situasi dan perbutan mengenai
kirve belajar pada hewan dan pada manusia memberi keyakinan kepadanya, bahwa
hal-hal yang menjadi dasar proses belajar pada hewan dan pada manusia itu
adalah sama saja. Baik belajar pada hewan maupun pada manusia itu berlangsung
menurut tiga macam hukum belajar pokok, yaitu:
A. Law of
readness
law of readness adalah prinsip tambahan yang menggunanakan taraf fisiologis
bagi law of effect. Hukum ini meupakan kadaan-keadaan di mana pelajar cenderung
untuk mendapatkan kepuasan atau ketidak puasan, menerima atau menolak sesuatu.
Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu:
(1) kalau suatu unit konduksi siap untuk berkonduksi, maka
konduksi denga unit akan membawa kepuasan, dan tidak ada tindakan-tindakan lagi
(yang lain) untuk mengubah konduksi itu.
(2) Unit konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila
tidak berkonduksi akan menimbulka ketidak puasan, dan akan menimbulkan
response-response atau meniadakan ketidak puasan itu.
(3) Apabila unit
konduksi yang tidak berkonduksi untuk berkonduksi dipaksa untuk berkondusi itu
akan menimbulkan ketidak puasan, dan berakibat dilakukannya tindakan-tindakan
lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak puasan itu.
B. law of exercise
hukum ini mengandung dua hal yaitu:
(1) law of use: hubungan-hubungan atau
koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat kalau ada latihan, dan
(2) law of disuse: hubungan-hubungan atau
koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan
atau penggunaan dihentikan. Soal menjadi kuat itu ditentukan oleh meningkatnya
kemungkinan bahwa response akan dilakuakan apabila situasi yang demikian itu
dihadapi lagi. Kemungkinan ini dapat ada dalam dua bentuk, yaitu:
- Menjadi lebih besar kemungkinan kalau situasi atau kejadian segera
dilangi.
- Rendahnya kemungkinan kalau berungnya kejadian itu berjarak lama.
Keterangan
tentang kekuata dan kemungkinan itu menjadi bahan perbantahan. Umumnya orang Amerika
serikat sendiri menolak dasar sturuktural yang ditemukan Thorndike mengenai
hibungan (koneksi) itu, yaitu bahwa perubahan-perubahan menjadi lebih kuat atau
lebih lemah nay hubungan itu mempunya dasar neurologist yang terdapat pada
synapsis. Namun ada juga gejala yang dapat diterangkan denga hukum itu, yaitu
terutama mengenai kebiasaan-kebiasaan, kecekatan-kecekatan. Karena memang
mengandung kelemahan. Maka tidak mengherankan kalau kelak Thorndike membuat
perubahan-perubahan dalam isi hukum tersebut.
C. Law Of Effect
Hukum ini menunjukkan pada semakin kuat atau semakin lemahnya koneksi
sebagai akibat dari ahsil perbuatan yang dilakukan. Apabila disederhanakan,
maka hukum ini akan dapat dirumuskan demikian: “suatu perbuatan yang disertai
atau diikuti oleh akibat yang enak (memuaskan/ menyenangkan) cenderung untuk
dipertahankan dan lain kali diulangi, sedang suatu perbuatan yang disertai atu
diikuti oleh akibat yang tidak enak (tidak menyenangkan) cenderung untuk
dihentikan dan lain kali tidak diulangi”. Dengan kata lain, hukum ini
menunjukkan bagaimana pengaruh hasil perbuatan yang serupa. Misalnya, orang
Indonesia umumnya memberi dan menrima sesuatu dari orang lain menggunakan
tangan kanan. Kebiasaan ini (kecakapan) adalah hasil dari belajar bertahun-tahun.
Pada saat masih kecil, kalau kita ulurkan tangan kanan kita peroleh apa yang
kita inginkan (menyenangkan, semacam hadiah), sebaliknya kalau kita ulurkan
tangan kiri, kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan bahkan ditegur
(tidak menyenangkan, semacam hukuman). Semakin lama kalau kita ingin mendapat
sesuatu kecenderungan mengulurkan tangan kanan, semakin besar dan kecenderungan
mengulurkan tangan kiri semakin kecil.
Implikasi praktisnya bahwa hukum ini adalah mengenai pengaruh hadiah atau hukuman
bagi seseorang. Hadiah menyebabkan seseorang terus melakukan perbuatan tertentu
dan lain kali mengulanginya, sedangkan hukuman menyebabkan seseorang
menghentikan perbuatan tertentu dan lain kali tidak mengulanginya. Dalam dunia
pendidikan bukan hal yang asing lagi bahwa peranan hadiah dan hukuman sebagai
alat pendidikan atau faktor motivasi
Transfer of Training
Satu hal lagi konsep Thorndike
yang perlu diketahui adalah transfer of training. Konsep ini menunjuk pada
dapat digunakannya hal yang telah dipelajari untuk menghadapi atau memecahkan
hal-hal lain yang serupa atau berhubungan. Adanya tarnsfer of training itu
merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, karena bilaman sekiranya
tranfer of training itu tidak ada, maka sekolah hampir saja tidak ada gunanya
bagi kehidupan bermasyarakat. Fungsi sekolah justru mempersiapkan calon-calon
warga masyarakat. Karena itu apa yang dipelajari di sekolah harus dapat
dipergunakan untuk berbagai keperluan di luar sekolah. Dengan perkataan lain
harus ada transfer of training. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana mengusahakan agar transfer of training itu dapat terjadi secara
optimal. Dalam hubungan dengan hal ini teori atau konsep mengenai transfer of
training diperlukan.
Transfer of training
lebih dikenal dengan theory of idential elements, yang menyatakan bahwa
transfer of training akan terjadi bila antara hal yang lama (yang telah
dipelajari) dengan hal baru (hal yang akan dipelajari atau dipecahkan) terdapat
unsur-unsur yang identik. Oleh karena itu bila kita dapat membaca koran/
majalah, sekalipun disekolah tidak pernah diajarkan, karena huruf-huruf yang
dipergunakan di koran/majalah adalah identik dengan huruf yang dipergunakan
dalam buku-buku pelajaran di sekolah, kita dapat mempergunakan buku resep
masakan karena hurufnya sama dengan huruf-huruf yang dipelajari di sekolah,
juga sistem penulisannya mirip dengan sistem pada kamus yang biasa kita pakai
di sekolah. Kesimpulannya, untuk mendapatkan transfer of training yang optimal
terletak pada bagaimana memilih bahan yang dipelajari itu agar mengandung
kesamaan sebanyak mungkin dengan hal yang nantinya akan dihadapi oleh siswa,
baik pada kehidupan sehari-hari maupun pada tingkat pendidikan selanjutnya.
Prosedur
Eksperimen
Thorndike membuat
eksperimen dengan anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan monyet. Namun demikian,
ketika beliau masih menjadi mahasiswa dii Harvard, ibu kos tempat beliau
tinggal melarangnya untuk menetaskan ayam didalam kamarnya. William James
menawarkan basement dirumahnya untuk membantu penelitian Thorndike, tentu saja
membuat Mrs. James agak cemas dan membuat anak-anak mereka heboh sekaligus
senang.
Prosedur
eksperimen khusus mengharapkan tiap-tiap hewan untuk bisa melepaskan diri dari
ruang yang diberi batas untuk bisa mencapai makanan. Kotak uji menggunakan
sebuah cara tertentu untuk bisa melepaskan diri. Ketika dibatasi, hewan
seringkali memperlihatkan banyak perilaku, termasuk menggurat-gurat, menggigit,
mencakar, menggosok-gosok pada bagian sisi kotak. Cepat atau lambat binatang
akan bisa melepaskan diri dan bisa mencapai makanan, Dengan melakukan
pengurangan secara berulang-ulang maka semakin kecil kemungkinan binatang
menunjukkan perilaku yang tidak berhubungan dengan pembebasan diri mereka,
sehingga waktu yang dibutuhkan juga semakin sedikit. Perubahan yang paling
cepat terlihat pada monyet. Dalam satu eksperimen, sebuah kotak yang berisi
banyak pisang diletakkan di sebelah kurungan tempat monyet tersebut berada.
Tigapuluh enam menit dibutuhkan oleh monyet untuk bisa menarik penutup. Dalam
percobaan kedua, waktu yang dibutuhkan hanya 2 menit 20 detik (Thorndike, 1911
dalam Nurhidayah, 2005).
Thorndike menyimpulkan dari penelitiannya bahwa respon pembebasan diri
secara berangsur-angsur berhubungan dengan situasi stimulus pengetahuan
trial-and-error. Respon yang benar secara erangsur-angsur akan “diingat” atau
diperkuat melalui usaha yang berulang. Respon yang tidak benar memperlemah atau
“dilupakan”. Fenomena ini disebut dengan istilah substitusi respon. Teorinya juga
lazim dikenal dengan istilah instrumental conditioning karena pemilihan respon
khusus merupakan instrumen di dalam memperoleh imbalan.
Hukum
Pengetahuan
Tiga hukum
tentang pengetahuan didapatkan dari hasil penelitian sebelumnya. Ketiganya
adalah law of effect, law of exercise, dan law of readiness. Law of effect
menyatakan bahwa situasi dan kondisi mendukung yang mengikuti suatu respon akan
memperkuat hubungan antara stimulus dengan perilaku, sementara itu kondisi yang
mengganggu akan memperlemah hubungan. Thorndike kemudian memperbaiki hukum
sehingga hukuman yang tidak seimbang dengan imbalan dalam mempengaruhi
pengetahuan. Law of exercise menggambarkan kondisi yang diimplikasikan dalam
pepatah “Latihan menciptakan kesempurnaan”. Pengulangan pengalaman, dalam kata
yang berbeda, akan mempertinggi probabilitas respon yang benar. Namun demikian,
pengulangan dengan tidak adanya kondisi yang mendukung tidak akan meningkatkan
pengetahuan (Thorndike, 1913). Diringkas secara singkat, eksekusi suatu
tindakan didalam merespon dorongan yang kuat adalah bersifat mendukung,
sementara itu penghilangan atas suatu tindakan atau menekannya dalam kondisi
lain akan memiliki sifat mengganggu.
E.
TEORI BELAJAR OPERANT CONDITIONING
Percobaan Thorndike telah berhasil menemukan sebuah
teori baru tentang stimulus dan respon yang didapatkan dari sebuah kegiatan
mengulang-ulang. Tahun 1958, percobaan yang hampir sama dilakukan oleh B.F
Skinner. B.F Skinner melakukan percobaan terhadap tikus yang diletakkan di
dalam kandang. Kemudian ia meletakkan sebuah bel di dekat pintu. Apabila
ditekan, maka secara otomatis pengungkit makanan akan bergerak, dan makanan
akan jatuh dari atas kandang. Dalam percobaan ini, yang dilakukan tikus pertama
kali adalah melompat-lompat dan mencakar kandang. Tetapi pada suatu ketika,
tikus berhasil menekan bel hingga akhirnya pengungkit bergerak dan makanan pun
jatuh. Aksi yang dilakukan tikus ini dinamakan aksi emitted behavior. Emitted
behavior adalah sebuah tingkah laku yang muncul tanpa adanya stimulus tertentu
sebelumnya. Makanan yang jatuh dinamakan reinforce yaitu tingkah lau operant yang akan
terus meningkat apabila diikuti oleh reinforcement. Teori Operant Conditioning adalah teori yang dikembangkan oleh
B.F Skinner. Teori ini mengungkapkan bahwa tingkah laku bukanlah sekedarrespon
terhadap stimulus, tetapi suaatu tindakan yang disengaja atau operant. Tingkah
laku adalah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu. Tingkah
laku yang dimaksud terletak di antara dua pengaruh yaitu pengaruh yang
mendahuluinya (antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Hal
ini dapat dilukiskan sebagai berikut:
Antecedent –> tingkah
laku –> konsekuensi
atau
A –> B –> C
A –> B –> C
Dengan demikian, tingkah laku dapat diubah dengan
cara mengubah antecedent, konsekuensi, atau kedua-duanya. Menurut Skinner,
konsekuensi itu sangat menentukan apakah seseorang akan mengulangi suatu
tingkah laku pada saat lain di waktu yang akan datang.
Prosedur pembentukan tingkah laku
Prosedur pembentukan tingkah laku
Tingkah laku adalah hubungan antara perangsang
dan respon. Tingkah laku terjadi apabila ada stimulus khusus. Skinner
berpendapat, pribadi seseorang terbentuk dari akibat respon terhadap
lingkungannya, untuk itu hal yang paling penting untuk membentuk sebuah
kepribadian adalah adanya penghargaan dan hukuman. Penghargaan akan diberikan
untuk respon yang diharapkan sedangkan hukuman untuk respon yang salah.
Pendapat skinner ini memusatkan hubungan antara tingkah laku dan konsekuen.
Contoh, jika tingkah laku individu segera diikuti oleh tingkah laku
menyenangkan, individu akan menggunakan tingkah laku itu lagi sesering mungkin.
Skinner membedakan adanya dua macam respon, yaitu:
1. Respondent
response (reflexive
response), yaitu respom yang ditimbulkan oleh suatu perangsang-perangsang
tertentu. Misalnya, keluar air liur saat melihat makanan tertentu.
2. Operant
response (instrumental
response), yaitu respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh
perangsang-peerangsang tertentu. Contohnya, ketika seorang anak belajar (telah
melakukan perbuatan), lalu mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih giat
belajar (intensif/ kuat).
Kelebihan dan kekurangan Teori B.F. Skinner
Kelebihan
Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai
setiap anak didiknya. hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman.
Hal itu didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga
dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan.
Kekurangan
Tanpa adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat
membuat anak didik menjadi kurang mengerti tentang sebuah kedisiplinan. hal
tersebuat akan menyulitkan lancarnya kegiatan belajar-mengajar. Dengan
melaksanakan mastery learning, tugas guru akan menjadi semakin berat.
Operant conditioning merupakan teori belajar yang menjelaskan bahwa sesuatu
yang diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan akan cenderung diulang-ulang. Beberapa aplikasi teori belajar
Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit
secara organis.
2. Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada
siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diperkuat.
3. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang
belajar.
4. Materi pelajaran digunakan sistem modul.
5. Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
6. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas
sendiri.
7. Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
8. Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan
untuk mengindari pelanggaran agar tidak menghukum.
9. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
10. Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)
11. Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil,
semakin meningkat mencapai tujuan
12. Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.
13. Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah
laku operan.
14. Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
15. Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan
secara tuntas menurut waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda
iramanya. Sehingga naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas
guru berat,administrasi kompleks.
Menurut Skinner unsur
yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman (punishment).Penguatan(reinforcement)
adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan
terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang
menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.
F.
TEORI BELAJAR MODELING DAN OBSERVATIONAL LEARNING
TEORI BELAJAR SOSIAL
(Social Learning Theory)
Teori belajar social
juga masyur dengan sebutan teori observational learning, ‘belajar
observasional/ dengan pengamatan’ itu (Pressly & McCormick, 1995: 216)
adalah sebuah teori belajar yang relative masih baru dibandingkan dengan
teori-teori belajar lainnya.
Teori ini dikemukakan
oleh Albert Bandura, seorang psikolog pada Universitas Stanford Amerika
Serikat. Teori Bandura berdasarkan tiga asumsi , yaitu:
bahwa individu
melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya, terutama
perilaku-perilaku orang lain. Perilaku orang lain yang ditiru disebut sebagai
perilaku model atau perilaku contoh. Apabila peniruan itu memperoleh penguatan,
maka perilaku yang ditiru itu akan menjadi perilaku dirinya. Proses
pembelajaran menurut proses kognitif individu dan kcakapan dalam membuat
keputusan.
ialah terdapat
hubungkait yang erat antara pelajar dengan lingkungannya. Pembelajaran terjadi
dalam keterkaitan antara tiga pihak yaitu lingkungan, perilaku dan
factor-faktor pribadi
ialah bahwa hasil
pembelajaran adalah berupa kode perilaku visual dan verbal yang diwujudkan
dalam perilaku sehari-hari.
Atas dasar asumsi
tersebut, maka teori pembelajaran Bandura disebut social-kognitif karena proses
kognitif dalam diri individu memegang peranan dalam pembelajaran, sedangkan
pembelajaran terjadi karena adanya pengaruh lingkungan social. Individu akan
mengamati perilaku di lingkungannya sebagai model, kemudian ditirunya sehingga
menjadi perilaku miliknya. Dengan demikian, maka teori Bandura ini disebut
teori pembelajaran melalui peniruan. Perilaku individu terbentuk melalui
peniruan terhadap perilaku di lingkungan, pembelajaran merupakan suatu proses
bagaimana membuat peniruan yang sebaik-baiknya sehingga bersesuain dengan
keadaan dirinya atau tujuannya. Teori ini menekankan pada komponen
kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi.
Proses pembelajaran
menurut Teori Bandura, terjadi dalam tiga komponen (unsure) yaitu : 1.Perilaku
Model (contoh)
Individu melakukan
pembelajaran dengan proses mengenal perilaku model (perilaku yang akan ditiru),
kemudian mempertimbangkan dan memutuskan untuk meniru sehingga menjadi
perilakunya sendiri. Perilaku model ialah berbagai perilaku yang
dikenal di lingkungannya. Apabila bersesuaian dengan keadaan dirinya (minat,
pengalaman, cita-cita, tujuan, dsb), maka perilaku itu akan ditiru.
2.Pengaruh Perilaku
Model
Untuk memahami pegaruh
perilaku model, maka perlu diketahui fungsi model itu sendiri, yaitu:
· Untuk
memindahkan informasi ke dalam diri individu
· Memperkuat
atau memperlemah perilaku yang telah ada
· Memindahkan
pola-pola perilaku yang baru.
3.Proses Internal
Pelajar
Model-model yang ada di
lingkungan senantiasa meberikan ransangan kepada individu yang membuat individu
memberikan tindak balas apabila terjadi hubungkait antara ransangan dengan
dirinya. Macam-macam model boleh berasal dari ibu-bapak, orang tua, orang
dewasa, guru, pemimpin, teman sebaya, anggota keluarga, anggota masyarakat,
tokoh-tokoh yang berpretise seperti penyanyi, pahlawan, bintang film dan
sebagainya.
Dalam kaitan dengan
pembelajaran, ada tiga macam model, yaitu:
1.Live Model
Ialah model yang
berasal dari kehidupan nyata, misalnya perilaku orang tua di rumah, perilaku
guru, teman sebaya, atau perilaku yang dilihat sehari-hari di lingkungan.
2.Simbolic Model
Ialah model yang
berasal dari suatu perumpamaan, misalnya dari cerita di buku, radio, TV, film
atau dari berbagai peristiwa laiinya.
3.Verbal Description
Model
Ialah model yang
dinyatakan dalam suatu uraian verbal (kata-kata), misalnya petunjuk atau arahan
untuk melakukan sesuatu seperti resep yang memberikan arahan bagaimana membuat
satu masakan.
Proses peniruan model
ini akan dipengaruhi oleh factor model itu sendiri dan kualitas individu.
Model-model yang akan ditiru ditentukan oleh tiga factor:
1.Ciri-Ciri model
Yaitu model yang
memiliki ciri-ciri yang bersesuaian dengan individu akan lebih mungkin ditiru
disbanding dengan model yang kurang bersesuaian.
2.Nilai Prestise
daripada Model
Ialah model yang
memberikan prestise. Misalnya para penyanyi. Bintang film, pemimpin, orang
terkenal, pahlawan, pakar, para juara, adalah contoh tokoh yang memiliki
pretise tinggi, sehingga akan lebih mungkin dijadikan sebagai model untuk
ditiru.
3.Peringkat Ganjaran
Intrinsik
Artinya kualitas rasa
kepuasan yang diperoleh dengan meniru suatu model.
Dalam kaitan dengan
pengajaran di dalam kelas, guru hendaknya merupakan tokoh perilaku bagi
siswa-siswanya. Proses kognitif siswa hendaknya mendapat perhatian dari guru,
kemudian lingkungan hendaknya memberikan dukungan bagi proses pembelajaran, dan
guru membantu siswa dalam mengembangkan perilaku pembelajaran. Guru hendaknya
memperhatikan karakteristik siswa, terutama yang berkenaan dengan perbedaan
individual, kesediaan, motivasi, dan proses kognitifnya. Hal lain yang harus
diperhatikan ialah kecakapan siswa dalam pembelajaran untuk belajar, dan
penyelesaian masalah dalam pengajaran. Proses pembelajaran hendaknya tidak
terpisah dari lingkungan social, artinya apa yang dilakukan dalam pembelajaran
dan pengajaran hendaknya memiliki keterkaitan dan padanan dengan kehidupan
social yang nyata.
Dalam mengembangkan
proses pengajaran yang efektif, teori ini menyarankan strategi sebagai berikut:
1. mengidentifikasikan
model-model perilaku yang akan digunakan dalam kelas
2. mengembangkan
perilaku yang memberikan nilai-nilai secara fungsional, dan memilih
perilaku-perilaku model
3. mengembangkan
urutan atau peringkat proses pengajaran
4. menerapkan
aktifitas pengajaran dan membimbing aktifitas pembelajaran siswa dalam
membentuk proses kognitif dan motorik.
Berikut proses
pembelajaran yang penting dari Bandura yaitu:
1.Pembelajaran
Observasional ( observational learning )
Adalah pembelajaran
yang meliputi perolehan keterampilan, strategi, dan keyakinan dengan cara
mengamati orang lain. Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar
dari proses pengamatan atau modeling Proses yang terjadi dalam observational
learning tersebut antara lain :
a. Atensi, dalam
tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model dengan cermat
b. Retensi, tahapan ini
adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang ditampilkan oleh model yang
diamati maka seseorang perlu memiliki ingatan yang bagus terhadap perilaku
model.
c. Reproduksi, dalam
tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk mengamati dengan
cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah ditampilkan oleh modelnya maka
berikutnya adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku yang dilakukan
oleh model.
d. Motivasional,
tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi untuk belajar dari
model.
2.Pembelajarang dengan
Pengaturan Diri ( self-regulatory learning ) Terdiri atas
pembangkitan diri dan pemantauan diri atas pikiran, perasaan, dan perilaku
dengan tujuan untuk mencapai suatu sasaran.
SUMBER :
Aunurrahman.
2012. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Alfabeta.
Dimyati dan Mujiono.
(1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan dan
Syah, Muhibbin M. Ed, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung,
PT Remaja Rosdakarya, cet ke-6, 2001, h. 105-106.
Suryabrata,
Sumadi, Psikologi
Pendidikan, Jakarta,
CV. Rajawali, cet ke-3, 1987, h. 267-270.
http://dewikusumadian.blogspot.co.id/2012/11/teori-belajar-sosial-social-learning.html
0 comments:
Post a Comment