Wednesday 30 May 2018

Teori Belajar Behavioristik


TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK


A.            PANDANGAN  BEHAVIORISTIK TENTANG BELAJAR

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari  teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Perubahan perilaku yang dimaksud dapat berwujud perilaku tampak (over behavior) atau perilaku yang tidak tampak (innert behavior). Perilaku yang tampak misalnya : menulis, menendang, memukul,  sedangkan perilaku yang tidak tampak misalnya : berfikir, bernalar, dan berkhayal. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah ThorndikeWatsonClark HullEdwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran. Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisikaatau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

·         Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;

·         Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;

·         Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.





B.     PRINSIP-PRINSIP BELAJAR

Berikut ini diuraikan beberapa peinsip belajar yang dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran.

1. Pinsip Perhatian dan Motivasi

Perhatian dan motivasi merupakan dua aktivitas yang memiliki keterkaitan yang sangat erat. Dan untuk menumbuhkan perhatian dibutuhkan adanya motivasi. Motivasi merupakan tenaga pendorong bagi seseorang agar memiliki energy atau kekuatan malakukan sesuatu dengan penuh semangat. Hamalik (2011), mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energy didalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi terkait erat dengan kebutuhan. Semakin besar kebutuhan seseorang akan sesuatu yang ingin dicapainya maka akan semakin tinggi pula motivasi untuk menccapai hal tersebut. Dalam kegiatan belajar peran guru sangat penting dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa. Disini tugas guru adalah meyakinkan siswa agar tujuan belajar yang ingin diwujudkan menjadi suatukebutuhan bagi semua siswa. Motivasi dapat bersifat internal dan eksternal. Motivasi internal adalah dorongan dari dalam diri individu itu sendiri untuk melakukan sutu aktivitas. Motivasi eksternal adalah dorongan yang berasal yang berasal dari luar diri seorang individu yakni dari lingkungan sekitar dan orang-orang yang ada disekitarnya.kedua motivasi terjadi seimbang akan menghasilkan proses pembelajaran yang mencapai hasil.

2.  Prinsip Transfer dan Retensi

Berkaitan dengan proses transfer dan retensi terdapat beberapa prinsip yaitu :

   a. Tujuan belajar dan daya ingat dapat menguasai retensi.

   b. Bahan yang bermakna bagi pelajar dapat diserap lebih baik.

   c. Retensi seseorang dipengaruhi oleh kondisi psikis dan fisik dimana proses belajar itu      terjadi. 

   d. Latihan yang terbagi-bagi memungkinkan retensi yang lebih baik.

    e.  Penelaahan bahan-bahan factual, keterampilan  dan konsep dapat meningkatkan retensi.

   f.   Proses belajar cenderung terjadi bila kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat memberikan hasil yang memuaskan.

    g.  Proses saling mempengaruhi dalam belajar akan terjadi bila bahan baru sama dipelajari mengikuti bahan yang lalu.

    h. Pengetahuan tentang konsep, prinsip dan menganalisasi dapat diserap dengan baik dan dapat diterapkan lebih berhasil dengan cara menghubungkanpenerapan prinsip yang dipelajari dengan memberikan ilustrasi unsure e-unsur yang serupa.

    i. Transfer hasil belajar dalam situasi baru dapat lebih mendapat kemudahan bila hubungan-hubungan yang bermanfaat dalam situasi yang khas dan dalam situasi yang agak sama dapat diciptakan.

    j.  Tahap akhir proses belajar seharusnya memasukkan usaha untuk menarik generalisasi, yang pada gilirannya nanti dapat lebih memperkuat retensi dan transfer.

3. Prinsip Keaktifan

Keaktifan dalam belajar merupakan hal yang penting  dan mendasar yang harus dipahami, disadari serta dikembangkan oleh setiap guru dalam proses pembelajaran. Dan hal ini tentu harus diterapkan oleh siswa dalam kegiatan belajar. Keaktifan belajar ini ditandai oleh beberapa hal yakni keterlibatan secara optimal, baik intelektual, emosional dan fisik jika dibutuhkan.Daya keaktifan yang dimiliki oleh anak akan berkembang jika mendapat dukungan dari lingkungan disekitarnya.

Implikasi prinsip keaktifan atau aktivitas bagi guru dalam proses pembelajaran adalah:

    a.  Memberi kesempatan, peluang seluas-luasnya kepada siswa untukberkreativitas dalam proses pembalajaran.

   b. Memberi kesempatan melakukan pengamatan atau eksperimen.

   c. Memberi tugas individual dan kelompok melalui kontrol guru.

    d. Memberikan pujian verbal dan  non verbal terhadap siswa yang memberikan respon atau tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan.

   e. Menggunakan multi metode dan multi media dalam proses pembelajaran.

4. Prinsip Keterlibatan Langsung

Keterlibatan langsung siswa dalam proses pembelajaran memiliki intensitas keaktifan yang lebih tinggi. Dalam hal ini siswa tidak hanya aktif mendengar, mengamati dan mengikuti, akan tetapi siswa  terlibat langsung di dalam melaksanakan percobaan. Keterlibatan langsung siswa member banyak sekali manfaat, baik manfaat yang secara langsung dapat dirasakan dalam proses pembelajaran maupun manfaat jangka panjang setelah proses pembelajaran berlangsung.

Implikasi prinsip keterlibatan langsung bagi guru adalah:

    a. Mengaktifkan peran individu atau kelompok kecil dalam penyelesaian tugas.

    b. Menggunakan media secara langsung dan melibatkan  siswa di dalam praktik pengguanaan tersebut.

    c. Member keleluasan kepada siswa untuk melakukan berbagai percobaan.

   d. Memberikan tugas-tugas praktik.

5.  Prinsip pengulangan

Prinsip  belajar yang menekankan perlunya pengulangan. Prinsip ini bermanfaat untuk melatih daya –daya  jiwa, pengulangan juga berguna untuk membentuk respons yang benar dan membentuk kebiasaan-kebiasaan.

6.  Prinsip tantangan

Prinsip belajar yang mengemukakan bahwa siswa akan lebih giat belajar apabila pelajarannya memuaskan,guru ramah dan mereka memiliki peran dalam pelajaran tersebut.sehingga siswa merasa tertantang untuk dalam sutau pelajaran dan mendapat hasil maksimal. Model-model pembelajaran yang menempatkan siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru,memiliki kadar keterlibatan mental yang rendah. Dalam kaitan dengan prinsip-prinsip tantangan ini diharapkan guru secara cermat dapat memilih dan menentukan pendekatan dan metode pembelajaran yang dapat memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar.

7. Prinsip balikan dan penguatan

Prinsip belajar yang pada dasarnya memberi penguatan ke siswa. Siswa akan belajar lebih giat apabila mendapat hasil yang baik. Hasil belajar yang baik merupakan balikan positif. Namun penguatan bukan hamya positif penguatan negative juga diperlukan untuk memperkuat belajar. Memberi penguatan merupakan tindakan atau respon terhadap munculnya peningkatan kualitas tingkah laku. Di dalam proses pembelajaran sehari-hari sebagian guru memberi nilai atau skor terhadap pekerjaan siswa. Pemberitauan hasil belajar dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Nilai yang baik merupakn penguatan positif. Demikian pula ketika siswa mendapat nilai kurang baik, juga member manfaat dalam rangka mendorong motivasi belajar. Anak yang dapat nilai kurang baik akan belajar lebih giat demi tercapainya nilai sempurna. Jadi penguatan negative perlu demi meningkatnya motivasi siswa.

Beberapa situasi ini cocok untuk diberi penguatan :

    a. Pada saat siswa menjawab pertanyaan,atau merespon stimulus guru

    b. Pada saat siswa mengerjakan PR

     c. Pada saat siswa mengerjakan tugas tugas latihan.

     d. Pada saat siswa berani tampil di kelas

     e.   Pada saat siswa mengikuti proses pembelajaran dengan sungguh-sungguh.

8.  Prinsip Perbedaan Individual

Sebelum guru menentukan strategi pembelajaran,metode,dan teknik ,guru terlebih dahulu memahami karakteristik siswa dengan baik. Dari keberagaman factor ,seperti sikap siswa, kemampuan dan gaya belajar,pengetahuan serta kemampuannya dan konteks pembelajaran merupakan komponen yang memberikandampak sangat penting terhadap apa yang sesungguhnya harus siswa pelajari (Killen,1998: 5). Setiap guru harus dapat memahami dan menghargai karakteristik keunikan cara belajar mereka yang berlangsung dalam pembelajaran.dari sini pendidikan karakter dapat dikembangkan. Dalam pandangan DePorter dan Hernacki (2001: 17) terdapat tiga karakteristik atau modalitas belajar siswa yang perlu diketahui oleh setiap pendidik dalam proses pembelajaran yaitu:

     a.  Orang-orang visual,  yaitu karakter yang cenderung menyukai belajar media gambar secara langsung otak akan mentransfer apa yang ada dalam gambar tersebut untuk diterjemahkan.dan lebih suka melihat peta dari pada mendengar penjelasan.

    b. Orang-orang auditorial, yaitu karakter yang cenderung menyukai cara belajar melalui suara atau melihat orang berbicara dan tidak menyukai membaca buku.

    c. Orang-orang kinestetik, yaitu karakter yang cenderung cara belajar melalui gerakan anggota badan, cara berfikir lebih baik dengan bergerak dan sulit untk diam.

Implikasi prinsip perbedaan individual mengharuskan  guru berperan aktif dalam memahami karakteristik guna mencapai hasil pembelajaran. Setiap guru member perhatian dan menghargai keunikan yang dimiliki setiap siswa berbeda beda.



C.     TEORI BELAJAR CLASSICAL CONDITIONING

 Teori belajar classical conditioning adalah teori pengkondisian atau persyaratan klasik yaitu sebuah prosedur penciptaan reflek baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflek tersebut. Teori ini  juga dikenal dengan nama pavlovianisme. nama ini diberikan berdasarkan nama peletak dasar aliran ini yaitu Ivan Petrovitch Pavlov (1849- 1936). Pavlov lahir pada 14 september 1849 di Rusia, ayahnya adalah seorang pendeta bernama Peter Dmitrievich Pavlov. Sebenarnya orang tuanya mengiginkan Pavlov untuk menjadi penerus ayahnya, tetapi ia memelih jalannya sendiri dengan belajar ilmu kedokteran dan mengambil spesialis dalam bidang fisiologi.

Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fisiologi pada Institute of experimental medicine. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel dalam bidang fisiologi pada tahun behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work Of Digestive Glands (1902). Dan Conditioned Reflexes (1927). Sejak tahun 1902 telah mengadakan penelitian secara intensif mengenai kelenjar ludah. Penelitian ini dengan mempergunakan anjing sebagai subjeknya.

Adapun penelitiannya yang dilakukannya adalah dengan mengoperasi kelenjar ludah anjing sehinnga memungkinkan untuk mengukur dengan teliti air liur yang keluar sebagai respon. Setelah percobaan diulang berkali-kali, maka ternyata air liur telah keluar sebelum makanan sampai kemulutnya, yaitu:

a.       Pada waktu melihat piring makanan.

b.      Pada waktu melihat orang yang biasa memberi makanan.

       c.       Pada waktu mendengar langkah orang yang memberi makanan.

Jadi makanan disini merupakan perangsang (stimulus) yang sewajarnya bagi reflek keluarnya air liur, sedangkan piring, orang, dan suara langkah merupakan stimulus yang bukan sewajarnya. Terhadap percobaan ini Pavlov mengambil kesimpulan bahwa signal dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam adaptasi hewan terhadap sekitarnya. Reaksi mengeluarkan air liur karena mengamati pertanda disebut dengan istilah reflek bersyarat atau conditioned reflek (CR), pertanda atau signal disebut perangsang bersyarat atau conditioned stimulus (CS), makanan dsebut perangsang tak bersyarat atau Unconditioned stimulus (US), sendangkan keluarnya air liur karena makanan disebut reflek tak bersyarat atau unconditioned reflek  (UR).

Eksperimen ini kemudian diulang-ulang dengan berbagai variasi, namun dapat disimpulkan bahwa:

·         Anjing dibiarkan lapar, setelah itu bel dibunyikan, anjing mendengar benar-benar bunyi bel tersebut. Setelah 30 detik, makanan diberikan dan terjadilah reflek keluar air liur.

·         Percobaan tersebut diulang-ulang berkali-kali dengan jarak waktu 15.

·         Setelah diulang 32 kali, ternyata bunyi bel saja (± 30 detik) telah dapat menyebabkan keluarnya air liur dan ini bertambah deras kalau makanan diberikan.

Dari eksperimen ini diketahui bahwa:

·         Bel merupakan CS, dan makanan merupakan US.

·         Keluarnya air liur karena bel merupakan CS.                       

·         Makanan atau perangsang wajar (US) disebut juga reinforcer atau penguat, karena memperkuat reflek bersyararat dan menimbulkan respon yang lebih kuat.

Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan diketahui bahwa, daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi bunyi bel bel sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika bel dibunyikan, ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.

           B.     Kelebihan dan Kelemahan Teori Classical Conditioning.

Dalam penerapan sebuah teori memang selalu ada kelebihan dan kekurangannya. Adapun kelebihan teori pembiasaan atau classical conditioning ini adalah:

1.         Mementingkan pengaruh lingkungan, bagian-bagian, peranan reaksi, mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar.

2.         Mementingkan pembentukan kebiasaan dalam pemecahan masalah.

3.         Memberi pengaruh siswa dalam belajar, karena pendidik memberi stimulus sedangkan siswa akan lebih termotivasi dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya.

4.         terdapat stimulus tertentu yang mampu menggugah semangat siswa yang semula rendah.

5.         Jika siswa sudah terbiasa melakukan perbuatan yang telah terkondisikan dengan ilmunya secara kontinyu maka ia dapat dikatakan berhasil dalam belajarnya.

6.         Memberikan cirri perubahan dalam belajar, jika ada suatu tanda signal.

Adapun kelemahan dari teori pembiasaan classical conditioning adalah:

1.      Sistem pembelajaran bersifat mekanis.

2.      Pembelajaran bersifat teacher centered.

3.      Siswa menjadi pasif.

4.      Hanya merupakan materi.

5.      Percobaan dalam laboratium, berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.

6.      pribadi seseorang dapat mempengaruhi hasil belajar.

7.      Respon mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang tak dikenal.

8.      Teori ini sangat sederhana dan tidak memuaskan untuk menjelaskan segala seluk beluk dalam belajar yang sangat komplek dan tidak dapat diamati dalam satu perspektif saja.

D.    TEORI BELAJAR KONEKSIONISME

Teori belajar koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874/ 1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thondike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing mengetahui fenomena belajar.

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-KkL8B_Mq5AHA05DxWPsqXcNUxktbaxKfXYTMC_h1mZE0VtMDRapCgbWWdgYDAI_psKB5eJ92SnV2j7qR9Qs9JW5d3s0dRRMy0ZGjJs18IYpzFpSTKN6hWwjFfKrA4JhGfcVisYgQl50q/s1600/Efecte-Thorndike.jpg

Seekor kucing lapar ditempatkan berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatang, seperti pengungkit, gerendel, pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia didepan sangkar tadi.

Keadaan bagian sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimlus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini merupakan terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).

Berdasarkan eksperimen di atas, thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psichology of Learning”. Disampng itu teori ini juga dikenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada penjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975).

Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong tibulnya fenomena belajar.

1.      Keadaan kucing yang sedang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam  puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakka gejala belajar untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir  dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.

2.      Tersedianya makanan di muka pintu  puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya jika sebuah respons melahirkan effeks yang memuaskan, sehubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya tidak akan memuaskan (mengganggu) effek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah yang mengalami munculnya konsep reinforcer dalam teori Operant Conditioning hasil penemuan B.F. Skinner.Hal ini ditafsirkan oleh Thorndike demikian: “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia belajar mencamkan (mempertahankan) response-response yang benar dan menghilangkan response-reponse yang salah”. Berebeda dengan penelitian-penelitian labortorium mengenai hal belajar itu yang telah dilakukan oleh ahli-ahli yang lebih dahulu, dalam eksperimen ini Thorndike memasukkan masalah baru di dalam belajar, yaitu masalah dorongan (motivation), hadiah (ganjaran, reward, dan hukuman (phunisment). Penelitian-penelitian yang lebih dahulunya tidak mempersoalkan hal itu (misalnya saja penelitian Ebbinghaus). Eksperimen-eksperimen Thorndike mengenai hewan mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf insansi (hewan). Dia yakin betentangan pada kepercayaan umum, bahwa tingkah laku hewan sedikt sekali dipimpin oleh pengertian. Response-response itu dilakukan oleh hewan langsung terhadap situasi yang diamati. Dengan tidak menyatakan secara eksplisit menolak pengertian adanya pada hewan. Dia yakin masalah belajar itu pada hewan dapat diterangkan sebagai hubungan langsung antara situasi dan perbutan mengenai kirve belajar pada hewan dan pada manusia memberi keyakinan kepadanya, bahwa hal-hal yang menjadi dasar proses belajar pada hewan dan pada manusia itu adalah sama saja. Baik belajar pada hewan maupun pada manusia itu berlangsung menurut tiga macam hukum belajar pokok, yaitu:

A.   Law of readness

law of readness adalah prinsip tambahan yang menggunanakan taraf fisiologis bagi law of effect. Hukum ini meupakan kadaan-keadaan di mana pelajar cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidak puasan, menerima atau menolak sesuatu. Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu:

(1)  kalau suatu unit konduksi siap untuk berkonduksi, maka konduksi denga unit akan membawa kepuasan, dan tidak ada tindakan-tindakan lagi (yang lain) untuk mengubah konduksi itu.

(2)  Unit konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan menimbulka ketidak puasan, dan akan menimbulkan response-response atau meniadakan ketidak puasan itu.

(3)   Apabila unit konduksi yang tidak berkonduksi untuk berkonduksi dipaksa untuk berkondusi itu akan menimbulkan ketidak puasan, dan berakibat dilakukannya tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak puasan itu.

B.  law of exercise

hukum ini mengandung dua hal yaitu:

(1)    law of use: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat kalau ada latihan, dan

(2)    law of disuse: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan atau penggunaan dihentikan. Soal menjadi kuat itu ditentukan oleh meningkatnya kemungkinan bahwa response akan dilakuakan apabila situasi yang demikian itu dihadapi lagi. Kemungkinan ini dapat ada dalam dua bentuk, yaitu: 

- Menjadi lebih besar kemungkinan kalau situasi atau kejadian segera dilangi.

- Rendahnya kemungkinan kalau berungnya kejadian itu berjarak lama.

Keterangan tentang kekuata dan kemungkinan itu menjadi bahan perbantahan. Umumnya orang Amerika serikat sendiri menolak dasar sturuktural yang ditemukan Thorndike mengenai hibungan (koneksi) itu, yaitu bahwa perubahan-perubahan menjadi lebih kuat atau lebih lemah nay hubungan itu mempunya dasar neurologist yang terdapat pada synapsis. Namun ada juga gejala yang dapat diterangkan denga hukum itu, yaitu terutama mengenai kebiasaan-kebiasaan, kecekatan-kecekatan. Karena memang mengandung kelemahan. Maka tidak mengherankan kalau kelak Thorndike membuat perubahan-perubahan dalam isi hukum tersebut.

C.    Law Of Effect

Hukum ini menunjukkan pada semakin kuat atau semakin lemahnya koneksi sebagai akibat dari ahsil perbuatan yang dilakukan. Apabila disederhanakan, maka hukum ini akan dapat dirumuskan demikian: “suatu perbuatan yang disertai atau diikuti oleh akibat yang enak (memuaskan/ menyenangkan) cenderung untuk dipertahankan dan lain kali diulangi, sedang suatu perbuatan yang disertai atu diikuti oleh akibat yang tidak enak (tidak menyenangkan) cenderung untuk dihentikan dan lain kali tidak diulangi”. Dengan kata lain, hukum ini menunjukkan bagaimana pengaruh hasil perbuatan yang serupa. Misalnya, orang Indonesia umumnya memberi dan menrima sesuatu dari orang lain menggunakan tangan kanan. Kebiasaan ini (kecakapan) adalah hasil dari belajar bertahun-tahun. Pada saat masih kecil, kalau kita ulurkan tangan kanan kita peroleh apa yang kita inginkan (menyenangkan, semacam hadiah), sebaliknya kalau kita ulurkan tangan kiri, kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan bahkan ditegur (tidak menyenangkan, semacam hukuman). Semakin lama kalau kita ingin mendapat sesuatu kecenderungan mengulurkan tangan kanan, semakin besar dan kecenderungan mengulurkan tangan kiri semakin kecil.

Implikasi praktisnya bahwa hukum ini adalah mengenai pengaruh hadiah atau hukuman bagi seseorang. Hadiah menyebabkan seseorang terus melakukan perbuatan tertentu dan lain kali mengulanginya, sedangkan hukuman menyebabkan seseorang menghentikan perbuatan tertentu dan lain kali tidak mengulanginya. Dalam dunia pendidikan bukan hal yang asing lagi bahwa peranan hadiah dan hukuman sebagai alat pendidikan atau faktor motivasi

    Transfer of Training

Satu hal lagi konsep Thorndike yang perlu diketahui adalah transfer of training. Konsep ini menunjuk pada dapat digunakannya hal yang telah dipelajari untuk menghadapi atau memecahkan hal-hal lain yang serupa atau berhubungan. Adanya tarnsfer of training itu merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, karena bilaman sekiranya tranfer of training itu tidak ada, maka sekolah hampir saja tidak ada gunanya bagi kehidupan bermasyarakat. Fungsi sekolah justru mempersiapkan calon-calon warga masyarakat. Karena itu apa yang dipelajari di sekolah harus dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan di luar sekolah. Dengan perkataan lain harus ada transfer of training. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengusahakan agar transfer of training itu dapat terjadi secara optimal. Dalam hubungan dengan hal ini teori atau konsep mengenai transfer of training diperlukan.

Transfer of training lebih dikenal dengan theory of idential elements, yang menyatakan bahwa transfer of training akan terjadi bila antara hal yang lama (yang telah dipelajari) dengan hal baru (hal yang akan dipelajari atau dipecahkan) terdapat unsur-unsur yang identik. Oleh karena itu bila kita dapat membaca koran/ majalah, sekalipun disekolah tidak pernah diajarkan, karena huruf-huruf yang dipergunakan di koran/majalah adalah identik dengan huruf yang dipergunakan dalam buku-buku pelajaran di sekolah, kita dapat mempergunakan buku resep masakan karena hurufnya sama dengan huruf-huruf yang dipelajari di sekolah, juga sistem penulisannya mirip dengan sistem pada kamus yang biasa kita pakai di sekolah. Kesimpulannya, untuk mendapatkan transfer of training yang optimal terletak pada bagaimana memilih bahan yang dipelajari itu agar mengandung kesamaan sebanyak mungkin dengan hal yang nantinya akan dihadapi oleh siswa, baik pada kehidupan sehari-hari maupun pada tingkat pendidikan selanjutnya.

Prosedur Eksperimen

Thorndike membuat eksperimen dengan anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan monyet. Namun demikian, ketika beliau masih menjadi mahasiswa dii Harvard, ibu kos tempat beliau tinggal melarangnya untuk menetaskan ayam didalam kamarnya. William James menawarkan basement dirumahnya untuk membantu penelitian Thorndike, tentu saja membuat Mrs. James agak cemas dan membuat anak-anak mereka heboh sekaligus senang.

Prosedur eksperimen khusus mengharapkan tiap-tiap hewan untuk bisa melepaskan diri dari ruang yang diberi batas untuk bisa mencapai makanan. Kotak uji menggunakan sebuah cara tertentu untuk bisa melepaskan diri. Ketika dibatasi, hewan seringkali memperlihatkan banyak perilaku, termasuk menggurat-gurat, menggigit, mencakar, menggosok-gosok pada bagian sisi kotak. Cepat atau lambat binatang akan bisa melepaskan diri dan bisa mencapai makanan, Dengan melakukan pengurangan secara berulang-ulang maka semakin kecil kemungkinan binatang menunjukkan perilaku yang tidak berhubungan dengan pembebasan diri mereka, sehingga waktu yang dibutuhkan juga semakin sedikit. Perubahan yang paling cepat terlihat pada monyet. Dalam satu eksperimen, sebuah kotak yang berisi banyak pisang diletakkan di sebelah kurungan tempat monyet tersebut berada. Tigapuluh enam menit dibutuhkan oleh monyet untuk bisa menarik penutup. Dalam percobaan kedua, waktu yang dibutuhkan hanya 2 menit 20 detik (Thorndike, 1911 dalam Nurhidayah, 2005).

Thorndike menyimpulkan dari penelitiannya bahwa respon pembebasan diri secara berangsur-angsur berhubungan dengan situasi stimulus pengetahuan trial-and-error. Respon yang benar secara erangsur-angsur akan “diingat” atau diperkuat melalui usaha yang berulang. Respon yang tidak benar memperlemah atau “dilupakan”. Fenomena ini disebut dengan istilah substitusi respon. Teorinya juga lazim dikenal dengan istilah instrumental conditioning karena pemilihan respon khusus merupakan instrumen di dalam memperoleh imbalan.

Hukum Pengetahuan

Tiga hukum tentang pengetahuan didapatkan dari hasil penelitian sebelumnya. Ketiganya adalah law of effect, law of exercise, dan law of readiness. Law of effect menyatakan bahwa situasi dan kondisi mendukung yang mengikuti suatu respon akan memperkuat hubungan antara stimulus dengan perilaku, sementara itu kondisi yang mengganggu akan memperlemah hubungan. Thorndike kemudian memperbaiki hukum sehingga hukuman yang tidak seimbang dengan imbalan dalam mempengaruhi pengetahuan. Law of exercise menggambarkan kondisi yang diimplikasikan dalam pepatah “Latihan menciptakan kesempurnaan”. Pengulangan pengalaman, dalam kata yang berbeda, akan mempertinggi probabilitas respon yang benar. Namun demikian, pengulangan dengan tidak adanya kondisi yang mendukung tidak akan meningkatkan pengetahuan (Thorndike, 1913). Diringkas secara singkat, eksekusi suatu tindakan didalam merespon dorongan yang kuat adalah bersifat mendukung, sementara itu penghilangan atas suatu tindakan atau menekannya dalam kondisi lain akan memiliki sifat mengganggu.



E.        TEORI BELAJAR OPERANT CONDITIONING

Percobaan Thorndike telah berhasil menemukan sebuah teori baru tentang stimulus dan respon yang didapatkan dari sebuah kegiatan mengulang-ulang. Tahun 1958, percobaan yang hampir sama dilakukan oleh B.F Skinner. B.F Skinner melakukan percobaan terhadap tikus yang diletakkan di dalam kandang. Kemudian ia meletakkan sebuah bel di dekat pintu. Apabila ditekan, maka secara otomatis pengungkit makanan akan bergerak, dan makanan akan jatuh dari atas kandang. Dalam percobaan ini, yang dilakukan tikus pertama kali adalah melompat-lompat dan mencakar kandang. Tetapi pada suatu ketika, tikus berhasil menekan bel hingga akhirnya pengungkit bergerak dan makanan pun jatuh. Aksi yang dilakukan tikus ini dinamakan aksi emitted behavior. Emitted behavior adalah sebuah tingkah laku yang muncul tanpa adanya stimulus tertentu sebelumnya. Makanan yang jatuh dinamakan reinforce yaitu tingkah lau operant yang akan terus meningkat apabila diikuti oleh reinforcement. Teori Operant Conditioning adalah teori yang dikembangkan oleh B.F Skinner. Teori ini mengungkapkan bahwa tingkah laku bukanlah sekedarrespon terhadap stimulus, tetapi suaatu tindakan yang disengaja atau operant. Tingkah laku adalah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu. Tingkah laku yang dimaksud terletak di antara dua pengaruh yaitu pengaruh yang mendahuluinya (antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Hal ini dapat dilukiskan sebagai berikut:

Antecedent     –> tingkah laku   –> konsekuensi

atau 
A          –>          B              –>          C

Dengan demikian, tingkah laku dapat diubah dengan cara mengubah antecedent, konsekuensi, atau kedua-duanya. Menurut Skinner, konsekuensi itu sangat menentukan apakah seseorang akan mengulangi suatu tingkah laku pada saat lain di waktu yang akan datang.
      Prosedur pembentukan tingkah laku

Tingkah laku adalah hubungan antara perangsang dan respon. Tingkah laku terjadi apabila ada stimulus khusus. Skinner berpendapat, pribadi seseorang terbentuk dari akibat respon terhadap lingkungannya, untuk itu hal yang paling penting untuk membentuk sebuah kepribadian adalah adanya penghargaan dan hukuman. Penghargaan akan diberikan untuk respon yang diharapkan sedangkan hukuman untuk respon yang salah. Pendapat skinner ini memusatkan hubungan antara tingkah laku dan konsekuen. Contoh, jika tingkah laku individu segera diikuti oleh tingkah laku menyenangkan, individu akan menggunakan tingkah laku itu lagi sesering mungkin. Skinner membedakan adanya dua macam respon, yaitu:

1. Respondent response (reflexive response), yaitu respom yang ditimbulkan oleh suatu perangsang-perangsang tertentu. Misalnya, keluar air liur saat melihat makanan tertentu.

2. Operant response (instrumental response), yaitu respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-peerangsang tertentu. Contohnya, ketika seorang anak belajar (telah melakukan perbuatan), lalu mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih giat belajar (intensif/ kuat).





Kelebihan dan kekurangan Teori B.F. Skinner

Kelebihan

Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan.

 Kekurangan

Tanpa adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat membuat anak didik menjadi kurang mengerti tentang sebuah kedisiplinan. hal tersebuat akan menyulitkan lancarnya kegiatan belajar-mengajar. Dengan melaksanakan mastery learning, tugas guru akan menjadi semakin berat.

Operant conditioning merupakan teori belajar yang menjelaskan bahwa sesuatu yang diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan akan cenderung diulang-ulang. Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

1. Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.

2. Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diperkuat.

3. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.

4. Materi pelajaran digunakan sistem modul.

5. Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.

6. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.

7. Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.

8. Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari pelanggaran agar tidak menghukum.

9. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.

10. Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)

11. Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan

12. Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.

13. Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.

14. Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.

15. Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya. Sehingga naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas guru berat,administrasi kompleks.

Menurut Skinner unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman (punishment).Penguatan(reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.

F.        TEORI BELAJAR MODELING DAN OBSERVATIONAL LEARNING

TEORI BELAJAR SOSIAL (Social Learning Theory)

Teori belajar social juga masyur dengan sebutan teori observational learning, ‘belajar observasional/ dengan pengamatan’ itu (Pressly & McCormick, 1995: 216) adalah sebuah teori belajar yang relative masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya.

Teori ini dikemukakan oleh Albert Bandura, seorang psikolog pada Universitas Stanford Amerika Serikat. Teori Bandura berdasarkan tiga asumsi , yaitu:

bahwa individu melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya, terutama perilaku-perilaku orang lain. Perilaku orang lain yang ditiru disebut sebagai perilaku model atau perilaku contoh. Apabila peniruan itu memperoleh penguatan, maka perilaku yang ditiru itu akan menjadi perilaku dirinya. Proses pembelajaran menurut proses kognitif individu dan kcakapan dalam membuat keputusan.

ialah terdapat hubungkait yang erat antara pelajar dengan lingkungannya. Pembelajaran terjadi dalam keterkaitan antara tiga pihak yaitu lingkungan, perilaku dan factor-faktor pribadi

ialah bahwa hasil pembelajaran adalah berupa kode perilaku visual dan verbal yang diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.

Atas dasar asumsi tersebut, maka teori pembelajaran Bandura disebut social-kognitif karena proses kognitif dalam diri individu memegang peranan dalam pembelajaran, sedangkan pembelajaran terjadi karena adanya pengaruh lingkungan social. Individu akan mengamati perilaku di lingkungannya sebagai model, kemudian ditirunya sehingga menjadi perilaku miliknya. Dengan demikian, maka teori Bandura ini disebut teori pembelajaran melalui peniruan. Perilaku individu terbentuk melalui peniruan terhadap perilaku di lingkungan, pembelajaran merupakan suatu proses bagaimana membuat peniruan yang sebaik-baiknya sehingga bersesuain dengan keadaan dirinya atau tujuannya. Teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi.

Proses pembelajaran menurut Teori Bandura, terjadi dalam tiga komponen (unsure) yaitu : 1.Perilaku Model (contoh)

Individu melakukan pembelajaran dengan proses mengenal perilaku model (perilaku yang akan ditiru), kemudian mempertimbangkan dan memutuskan untuk meniru sehingga menjadi perilakunya sendiri. Perilaku model ialah berbagai perilaku yang dikenal di lingkungannya. Apabila bersesuaian dengan keadaan dirinya (minat, pengalaman, cita-cita, tujuan, dsb), maka perilaku itu akan ditiru.

2.Pengaruh Perilaku Model

Untuk memahami pegaruh perilaku model, maka perlu diketahui fungsi model itu sendiri, yaitu:

·       Untuk memindahkan informasi ke dalam diri individu

·       Memperkuat atau memperlemah perilaku yang telah ada

·       Memindahkan pola-pola perilaku yang baru.

3.Proses Internal Pelajar

Model-model yang ada di lingkungan senantiasa meberikan ransangan kepada individu yang membuat individu memberikan tindak balas apabila terjadi hubungkait antara ransangan dengan dirinya. Macam-macam model boleh berasal dari ibu-bapak, orang tua, orang dewasa, guru, pemimpin, teman sebaya, anggota keluarga, anggota masyarakat, tokoh-tokoh yang berpretise seperti penyanyi, pahlawan, bintang film dan sebagainya.

Dalam kaitan dengan pembelajaran, ada tiga macam model, yaitu:

1.Live Model

Ialah model yang berasal dari kehidupan nyata, misalnya perilaku orang tua di rumah, perilaku guru, teman sebaya, atau perilaku yang dilihat sehari-hari di lingkungan.

2.Simbolic Model

Ialah model yang berasal dari suatu perumpamaan, misalnya dari cerita di buku, radio, TV, film atau dari berbagai peristiwa laiinya.

3.Verbal Description Model

Ialah model yang dinyatakan dalam suatu uraian verbal (kata-kata), misalnya petunjuk atau arahan untuk melakukan sesuatu seperti resep yang memberikan arahan bagaimana membuat satu masakan.

Proses peniruan model ini akan dipengaruhi oleh factor model itu sendiri dan kualitas individu. Model-model yang akan ditiru ditentukan oleh tiga factor:

1.Ciri-Ciri model

Yaitu model yang memiliki ciri-ciri yang bersesuaian dengan individu akan lebih mungkin ditiru disbanding dengan model yang kurang bersesuaian.

2.Nilai Prestise daripada Model

Ialah model yang memberikan prestise. Misalnya para penyanyi. Bintang film, pemimpin, orang terkenal, pahlawan, pakar, para juara, adalah contoh tokoh yang memiliki pretise tinggi, sehingga akan lebih mungkin dijadikan sebagai model untuk ditiru.

3.Peringkat Ganjaran Intrinsik

Artinya kualitas rasa kepuasan yang diperoleh dengan meniru suatu model.

Dalam kaitan dengan pengajaran di dalam kelas, guru hendaknya merupakan tokoh perilaku bagi siswa-siswanya. Proses kognitif siswa hendaknya mendapat perhatian dari guru, kemudian lingkungan hendaknya memberikan dukungan bagi proses pembelajaran, dan guru membantu siswa dalam mengembangkan perilaku pembelajaran. Guru hendaknya memperhatikan karakteristik siswa, terutama yang berkenaan dengan perbedaan individual, kesediaan, motivasi, dan proses kognitifnya. Hal lain yang harus diperhatikan ialah kecakapan siswa dalam pembelajaran untuk belajar, dan penyelesaian masalah dalam pengajaran. Proses pembelajaran hendaknya tidak terpisah dari lingkungan social, artinya apa yang dilakukan dalam pembelajaran dan pengajaran hendaknya memiliki keterkaitan dan padanan dengan kehidupan social yang nyata.

Dalam mengembangkan proses pengajaran yang efektif, teori ini menyarankan strategi sebagai berikut:

1.         mengidentifikasikan model-model perilaku yang akan digunakan dalam kelas

2.         mengembangkan perilaku yang memberikan nilai-nilai secara fungsional, dan memilih perilaku-perilaku model

3.         mengembangkan urutan atau peringkat proses pengajaran

4.         menerapkan aktifitas pengajaran dan membimbing aktifitas pembelajaran siswa dalam membentuk proses kognitif dan motorik.

Berikut proses pembelajaran yang penting dari Bandura yaitu:

1.Pembelajaran Observasional ( observational learning )

Adalah pembelajaran yang meliputi perolehan keterampilan, strategi, dan keyakinan dengan cara mengamati orang lain. Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan atau modeling Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain :

a. Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model dengan cermat

b. Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang ditampilkan oleh model yang diamati maka seseorang perlu memiliki ingatan yang bagus terhadap perilaku model.

c. Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk mengamati dengan cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah ditampilkan oleh modelnya maka berikutnya adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku yang dilakukan oleh model.

d. Motivasional, tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi untuk belajar dari model.

2.Pembelajarang dengan Pengaturan Diri ( self-regulatory learning ) Terdiri atas pembangkitan diri dan pemantauan diri atas pikiran, perasaan, dan perilaku dengan tujuan untuk mencapai suatu sasaran.



 SUMBER :




Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Alfabeta.

Dimyati dan Mujiono. (1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan dan


Syah, Muhibbin M. Ed, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, cet ke-6, 2001, h. 105-106.

 Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta, CV. Rajawali, cet ke-3, 1987, h. 267-270.


http://dewikusumadian.blogspot.co.id/2012/11/teori-belajar-sosial-social-learning.html
Share:

0 comments:

Post a Comment

Advertise